Muharram dan Keutamaannya
Kata Muharram secara bahasa,
berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram
karena peperangan(jihad) diharamkan pada bulan
tersebut” (Tarikh
Ad Dimasyq 1/51); jika saja jihad yang disyariatkan
lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan tersebut maka hal ini bermakna
perbuatan-perbuatan yang secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala
memiliki
penekanan pengharaman untuk lebih dihindari secara
khusus pada
bulan ini.
Beberapa Keutamaan Bulan Muharram
a. Bulan Muharram
Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan Haram
Allah Ta’ala berfirman:
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ
عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً
كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa."
(Q.S. at Taubah :36).
Salah seorang ahli
tafsir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi
rahimahulloh menyatakan, “Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan
di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya
dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun
secara umum kezholiman adalah dosa yang besar” (lihat Tafsir Al Baghawi
dan Tafsir Ibn Katsir)
Dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat
Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam
menjelaskan
keempat bulan haram yang dimaksud :
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ
اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ
ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ
جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya
zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu
Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya
terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta
satu bulan
yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat
diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197)
dan
Muslim(1679) ]
Para ulama bersepakat
bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan
bulan-bulan yang lain selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat,
bulan apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ? Imam Hasan
Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya
Allah telah memulai waktu yang setahun dengan bulan haram (Muharram) lalu
menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam
setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah melebihi bulan
Muharram” (Lihat : Lathoif Al Ma’arif hal 36)
b. Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua belas bulan yang
ada adalah makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih
keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah”
(Bulan Allah)
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ
رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ
الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa
yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram.
Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.
[ H.R. Muslim (11630) dari
sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan
adanya
keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan
kepada
lafzhul
Jalalah (lafazh Allah).
Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk
disandarkan pada
lafzhul Jalalah maka itu
mengindikasikasikan
tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk tersebut, sebagaimana istilah baitullah
(rumah Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah (unta
Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al Hafizh Abul Fadhl Al
‘Iraqy rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai
syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin dijawab
bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara bulan-bulan haram
yang Allah haramkan padanya berperang, disamping itu bulan Muharram adalah
bulan perdana dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul Jalalah (lafazh
Allah) sebagai bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi
Muhammad shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan
bulan Muharram” (lihat Hasyiah As Suyuthi ‘ala Sunan An Nasaai)
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana telah
disebutkan di atas dari perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh
dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum
segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya
di bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada bulan ini
adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang telah disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ
رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan
Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah
sholat lail” [ HR. Muslim(11630) ]
Mulla Al Qari’
menyebutkan bahwa hadits di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari
bulan Muharram. Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan berkaitan dengan
hadits ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang
menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan
Sya’ban bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah menjawab
pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh jadi Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali di akhir
hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang menghalangi beliau untuk
memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau mengadakan safar atau
sakit. [Lihat Al Minhaj Syarah Shohih Muslim bin Hajjaj]
Kemudian anjuran
berpuasa di bulan Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada
hari yang dikenal dengan istilah Yaumul 'Asyuro, yaitu pada tanggal
sepuluh bulan ini. ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh.
Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada
umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah
Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.
Hadits-Hadits
Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun hadis-hadis yang
menjadi dasar ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya
dengan pengklasifikasian sebagai berikut:
1. Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا
قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي
إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى
مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas radhiyallohu
anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di
Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau
bertanya : "Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa,
karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu
Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
pun bersabda, "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. [ H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. [ H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ
يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa
radhiyallohu anhu berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang
Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari
itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut
periwayatan imam Muslim)
2.
Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan
atas kaum muslimin sebelum kewajiban puasa Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ
يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ
الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ
تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق
عليه.
Dari Aisyah radhiyallohu
anha berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro
dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu, ketika
beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan
ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun
meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang
ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin
berpuasa maka tidak mengapa” [ HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]
عن عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ
وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ
يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه
مسلم)
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallohu anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum
diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah, barangsiapa ingin maka berpuasalah dan
siapa yang ingin meninggalkan maka boleh” [ HR. Muslim(1901) ]
3. Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa
sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar terhadap
puasa ‘Asyuro
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ
فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا
الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang
lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.”
[ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ
أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ
إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ
صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ
بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا
الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ
لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ
أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’
radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di pagi
hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar Medinah
(pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu hendaknya menyempurnakan
sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang berpuasa maka
hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak itu kami
berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan kami
buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah seorang
dari mereka menangis karena ingin makan maka kami berikan kepadanya
permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari (1960)
dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim ]
4. Keutamaan puasa
Asyuro
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي
الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ
يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ
الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah
radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa
hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [
HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna
dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau (1162)
]
5. Bagi yang ingin
berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas radhiyallohu
‘anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, "Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, "Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
:"Jika tahun depan insya
Allah (kita
bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan
(tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum tiba
Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di
tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ
قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Ibnu Abbas radhiyallohu
anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh
Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi”
[
Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665)
dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]
6. Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)
Imam Ibnu Qoyyim dalam
kitab Zaadul Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar
puasa ‘Asyuro, beliau menyimpulkan :
Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits . Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zaadul Ma’aad 2/63)
Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits . Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zaadul Ma’aad 2/63)
Kesimpulan Ibnul Qayyim
di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma,
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
"Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi
dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR.
Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini
sanadnya lemah, Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini
sanadnya lemah karena salah seorang perowinya yang bernama Muhammad bin
Abdurrahman bin Abi Laila jelek hafalannya, selain itu riwayatnya
menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan
dengan sanad yang shohih bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas
radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi [Ta’liq
Shohih Ibn Khuzaimah (3/290)]
Namun demikian puasa sebanyak tiga hari
(9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua
alasan :
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10)
2. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10, pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa pada
tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama
yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10)
saja,wallohu a’lam.
Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan puasa,sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah(sangat dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.
Beberapa
Pelanggaran dan Bid’ah Yang Sering Terjadi di Bulan Muharram
1. Pada awal Muharram, yang kadang dikenal dengan istilah 1 Suro, di tanah air sering diadakan acara ritual dan adat yang beraneka macam bahkan tidak jarang mengarah bahkan telah terjatuh pada kesyirikan, seperti meminta berkah pada benda-benda yang dianggap keramat dan sakti, membuang sesajian ke laut agar Sang Dewi penjaga laut tidak marah dan lain sebagainya. Sebagian lagi dari kaum muslimin menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang keramat dan sakral, sehingga menurut keyakinan mereka tidak boleh mengadakan hajatan besar di bulan tersebut seperti pernikahan, membangun rumah dan lain-lain. Di sisi lain ada juga di kalangan kaum muslimin menjadikan hari ‘Asyuro seperti layaknya hari lebaran, dimana mereka memperbanyak belanja dapur pada hari tersebut seakan-akan mengadakan pesta atau berhari raya. Sehingga di hari itu dikenal berbagai macam model makanan yang dinamakan secara khusus dengan ‘Asyuro seperti bubur ‘Asyuro. Perbuatan mereka ini didasari hadits yang diriwayatkan:
مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ في يَوْمِ عَاشُورَاءَ
وَسَّعَ الله عَلَيْهِ في سَنَتِهِ كُلِّهَا
“Barangsiapa
yang melapangkan (nafkah) kepada keluarganya pada hari ‘Asyura, niscaya Allah
akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu”
[
HR. Thobrani(10007) dan Baihaqi di kitab Syu’abul Iman (3792) ]
Hadits ini telah dilemahkan oleh banyak
ulama hadits, bahkan ada yang menghukuminya sebagai hadits palsu. Imam Ahmad
mengatakan bahwa hadits ini tidak memiliki asal, silakan lihat kitab Al
Maudhu’at oleh ibnul Jauzi, Ahadits Al Qushshash oleh Ibnu Taimiyah dan Al
Fawaid Al Majmu’ah oleh Syaukani
Hal-hal yang telah disebutkan di
atas dari kemungkaran-kemungkaran yang biasda terjadi di bulan Muharram harus
dihindari oleh setiap muslim dimanapun mereka berada karena
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai seorang Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa Jalla. Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai seorang Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa Jalla. Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Karena sebaik-baik pedoman adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, yang tidak ada keselamatan kecuali dengan berpegang kepada keduanya dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi'in dan penerus mereka yang setia berpegang kepada sunnahnya dan meniti jalannya, adapun hal-hal baru dalam masalah agama adalah sesat sedangkan kesesatan itu akan menghantarkan ke neraka, wal'iyadzubillah.
2. Pada tanggal 10
Muharram 61 H, terjadilah tragedi berdarah yang memilukan dalam sejarah
Islam, yaitu terbunuhnya Husein radhiyallohu anhu cucu Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam di sebuah tempat yang bernama Karbala. Peristiwa ini
kemudian dikenal dengan “Peristiwa Karbala”. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh
pendukung Khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu yaitu Yazid bin
Mu’awiyah, meskipun sebenarnya Khalifah sendiri saat itu tidak menghendaki
pembunuhan tersebut.
Karena peristiwa
berdarah ini maka kaum Syi’ah yang mengklaim diri mereka sebagai pengikut ahlul
bait menjadikan ‘Asyura sebagai hari berkabung, duka cita dan menyiksa diri
sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap ‘Asyura kaum Syi’ah
di seluruh dunia termasuk di negeri kita memperingati kematian Husein
radhiyallohu ‘anhu dengan melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti
berkumpul, menangis, meratapi Husein secara secara histeris, memukuli
tubuh dan wajah mereka, bahkan ada yang sampai tega melukai diri dan anak-anak
kecil dengan senjata tajam pada hari tersebut.
Peristiwa wafatnya Husain radhiyallohu anhu memang sangat tragis dan memilukan bagi siapa saja yang mengenang atau membaca kisahnya, dan kita tentu mencintai keluarga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, apalagi terhadap orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Namun musibah apapun yang terjadi dan betapapun kita sangat , hal itu jangan sampai membawa kita larut dalam kesedihan dan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai bentuk duka dengan yang memukul-mukul diri, menangis apalagi sampai mencela shahabat Rasulullah yang tidak termasuk Ahli Bait (keluarga dan keturunan beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan suatu kelompok Syi'ah yang mengaku memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap Ahli Bait (Keluarga Rasulullah), pdahal kenyataanya tidak demikian. Meratapi musibah kematian diharamkan, siapapun yang meninggal dunia bahkan kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun kita dilarang memperingati dan meratapi wafat beliau. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ
أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ
وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ
وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا
تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ
وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Ada
empat perkara yang terdapat pada ummatku termasuk, termasuk perbuatan kaum
Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan: Menyombongkan kebangsawanan, mencela
nasab, meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratap”. Beliau berkata, “Orang
yang meratapi kematian jika dia belum taubat sebelum meninggal dunia maka
akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan berpakaian hitam yang terbuat dari
ter dan baju besi yang berkudis” (HR. Muslim(1550) dari sahabat Abu
Malik Al Asy’ari radhiyallohu anhu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar